Semua orang pasti setuju bahwa korupsi adalah tindakan kriminal yang paling kriminal dari semua tindakan kriminal. Korupsi adalah tindakah kejahatan terhadap kemanusiaan. Korupsi lebih sadis dari pada perang. Ia bekerja secara siluman hampir tidak kelihatan tetapi dampaknya sangat fantastis dan berkepanjangan. Fatalnya, korupsi mampu meretakan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Radhar Panca Dahana pernah mengatakan korupsi menjadi raison d’etre korosi kejayaan negara.
Sekarang dunia mengenal Indonesia sebagai negara terkorup. Korupsi menjelma menjadi keutamaan bangsa. Jangan-jangan sudah tidak ada lagi keutamaan lain selain korupsi. Korupsi bukan lagi milik kelas elite, tetapi sudah imanen dalam masyarakat kebanyakan. Kasus Gayus Tumbunan dan “markus” adalah contoh yang menganga betapa korupsi merayap ke semua level masyarakat. Anehnya, lembaga atau pihak yang harus mengambil posisi perang melawan tindak korupsi justru turut bercumbu ria dengan manisnya tubuh korupsi. Lembaga-lembaga super body telah kehilangan antibodi melawan liukan erotis virus korupsi.
Mohamad Sobary pernah menulis begini: “bila ada maling mencuri milik orang lain, maka polisi akan datang untuk mengungkapkannya, dan menyerahkannya pada jaksa. Tapi bila malingnya itu polisi, jaksa, dan para pejabat tinggi lain, duh Gusti, siapa bisa menangkapnya, terutama jika wakil rakyat pun kebagian dan dengan gigih pun membela mereka?” Dan yang terjadi adalah maling teriak maling. Tidak jelas, siapa yang sebenarnya maling. Tetap saja, rakyat yang membayar pajaklah yang menjadi korban. Katanya, orang bijak bayar pajak. Kalimat ini indirectly ingin mengatakan bahwa orang yang tidak bayar pajak itu biadab. Lalu bagaimana dengan orang yang mencuri uang negara dari pajak? Biadap superlative mungkin layak untuk disematkan pada dada mereka.
Publik juga masih sedang bingung dengan kasus yang sedang menguak. Kasus si whistle blower, Susno Duadji, sang Jendral bintang tiga menjadi pesakitan di ruang tahanan. Dari tiupannya, banyak lembaga, khususnya kepolisian menjadi kehilangan muka. Kepolisian sedang susah payah membangun citra justru kembali terperosok akibat anggur korupsi yang memabukan beberapa pejabat tinggi di kepolisian. Kepolisian tidak tinggal diam. Tiupan itu disambut dengan answer as man. Maka masuklah sang whistle blower dalam “hotel” prodeo. Maling teriak maling. Siapa yang sebenarnya maling? Kelihatannya, tidak ada dikotomi maliang dan bukan maling. Semuanya maling. Maling yang dibesarkan dalam rumah yang sama. Jelas semua itu adalah mekanisme pertahanan diri setekah kebakran jenggot dengan teori blaming the victim (menyalahkan sang korban). Semacam pemutarbalikan fakta: sang penindas melapor sebagai tertindas padahal semuanya penindas. Publik bingung, hukum pun bingung. Mari kita tertawa untuk republik ini.
Sementara publik bingung, para koruptor lebih bingung lagi mencari celah untuk tetap lolos dari jerat hukum. Korupsi kolutif akan berkembang biak di sini. Korupsi bisa bermetamorfosi menjadi amoeba. Korupsi beranak-pianak dengan membelah dirinya sendiri. Dan koruptor pun orang cerdas yang bisa memilin aturan, menipu harta dan menipu jabatan. Hukum pun dapat dibayar, hasil korupsi ditimbun dengan sebagian untuk menyumbang pembangunan rumah ibadah, panti asuhan, lembaga sosial dan kerja kesenian untuk lolos dari jebakan money loundrying. Koruptor juga pintar berteater dengan pura-pura menjadi pegawai pajak, polisi, jaksa, anggota legislatif dan lain-lain, pada hal pekerjaan utamanya sebagai koruptor. Radhar Panca Dahana pun memperkenalkan pada kita wajah koruptor yang sebenarnya adalah “jenis manusia yang keras walau tampak dermawan, malas tapi tangguh, perusak tapi juga pemberani, culas namun pula cerdik...” Sketsa wajah koruptor ini sepertinya mendekati benar sebab para koruptor adalah orang yang tidak disangka-sangka meski sebenarnya mudah ditebak.
Memberantas korupsi adalah urusan urgen dan mendesak. Sama pentingnya juga dengan mencegah tindak korupsi. Lembaga-lembaga anti korupsi sejauh ini telah berhasil menangkap para koruptor dan mencegah tindak korupsi. Seluruh komponen bangsa harus saling mendukung dan bersatu tekad memberantas korupsi dan semua turunannya. Mendukung tetap dalam artian mendorong dan memberi dukungan moral terhadap lembaga-lembaga anti korupsi sekaligus kontrol terhadap praktek pemberantasan korupsi tersebut. Sebab ini adalah persoalan siapa mengawas siapa. Kasus “cicak-buaya” adalah bukti dari persoalan siapa mengawas siapa ini. Pemberantasan tindak korupsi juga harus diterjemahkan dalam domain norma-norma moral-etis dan legal. Sebab kadang kala terjemahan ini kurang sempurna. Jika itu terjadi maka tindakan yang bersifat korup secara moral tetapi tidak absah secara legal. Dalam kondisi ceteris paribus, mata publik melihat suatu tindakan terindikasi korupsi tetapi tidak menurut hakim. Terjemahan moral-etis dan legal penting sebab korupsi merupakan tindalan yang melanggar norma-norma moral-etis dan sementara itu, instrumen legal dipakai untuk menjerat pelaku-pelaku korupsi.
Siapa pun pemimpin bangsa ini harus punya komitmen tinggi untuk memberantas tindakan busuk korupsi. Korupsi harus dihapuskan dari muka bumi tercinta ini. Pemberantasan korupsi adalah conditio sine qua non bagi perbaikan kehidupan berbaik dan beradab. Sebab ini berkaitan dengan hati nurani bangsa, national geweten (conscience of the national) dalam istilah Soekarano. Semua itu untuk kejayaan bangsa Indonesia tercinta. Dan ah, koruptor! Ono-ono ae...bikin rusak martabat bangsa aja.
Selamat Hari Kebangkitan Nasional!!!
0 komentar:
Posting Komentar