Camilla Yoga
Camilla Leyland
REPUBLIKA.CO.ID, Namanya Camilla Leyland. Usianya kini 32 tahun. Bagi warga Cornwall, Inggris, Camilla sudah tak asing lagi. Ia memiliki sanggar yoga terbesar dan terkenal di kota itu, Camilla Yoga.
Namun tak banyak yang tahu, ibu dari seorang putri, Inaya, ini adalah seorang Muslim. Ia memutuskan untuk menganut Islam pada usia 20-an tahun.
Beda dengan pandangan Barat soal perlakuan Islam atas perempuan, ia justru tertarik mempelajari Islam karena alasan ini. Menurutnya, tak seperti pandangan banyak orang, Islam justru mendudukkan perempuan setara dengan laki-laki, dalam fungsi dan tugas masing-masing.
"Saya tahu, orang pasti akan terkejut mendengar kata "feminisme dan "Islam". Namun jangan salah, dalam Alquran, wanita mempunyai kedudukan setara laki-laki dan ketika agama ini dilahirkan, perempuan adalah warga kelas dua dalam masyarakat misoginis," ujarnya.
Menurutnya, banyak orang yang salah mendudukkan antara budaya dan agama. Di negara Islam, kebebasan wanita dikungkung mungkin benar, namun jangan salah juga, ketika saya tumbuh, saya juga merasa tertekan dalam kultur masyarakat Barat yang begini," ujarnya. "Tekanan" yang dimaksudkan, adalah tuntutan sosial agar wanita berlaku sama dengan pria, dengan minum minuman keras dan seks bebas. "Tak ada artinya semua itu bagi saya. Dalam Islam, ketika Anda mulai menjalin hubungan, maka artinya adalah sebuah komitmen yang intens," ujarnya.
Camilla besar dalam lingkungan kelas menengah Inggris. Ayahnya adalah direktur Southampton Institute of Education dan ibunya dosen ekonomi. Camilla mulai tertarik pada Islam sejak sekolah menengah.
Dahaganya akan pengetahuan keislaman agak terpuaskan ketelah ia masuk universitas, yang dilanjutkan dengan meraih gelar master untuk bidang studi Timur Tengah.
Pencerahan datang saat ia tinggal dan bekerja di Suriah. Ia makin tertarik pada Islam setelah membaca terjemah Alquran. "Saya tertarik untuk menjadi mualaf," ujarnya.
Keputusannya menganut Islam membuat teman-teman dan keluarganya heran. "Sulit bagi mereka untuk memahami seorang yang terpelajar, berasal dari kelas menengah, dan berkulit putih pula, memutuskan untuk menjadi Muslim," ujar Camilla.
Ia sempat mengenakan jilbab, namun kini dia tampil tanpa jilbab. Namun ia mengaku makin mantap dengan islam dan tak pernah melalaikan shalat.
Ia bersyukur menemukan Islam. Ia bercerita, makin kuat tekadnya memegang teguh agamanya saat menghadiri ulang tahun temannya di sebuah bar, saat itu ia tampil perjilbab.
"Saya berjalan, dengan jilbab dan pakaian rapat saya, melihat semua mata menatap saya dan beberapa yang mabuk mengucapkan kata-kata tak senonoh atau menari secara provokatif. Untuk pertama kalinya, saya menyaksikan masa lalu saya dengan sebelah mata dan saya tahu, saya tak akan pernah ingin kembali pada kehidupan semacam itu," ujarnya.
Ia menyatakan beruntung menemukan "rute penyelamatan diri"-nya, Islam. "Ini saya yang sesungguhnya: saya bahagia berdoa lima kali sehari, dan mengikuti pengajian di masjid. Saya tak lagi menjadi budak dari masyarakat yang rusak," ujarnya.
Namun tak banyak yang tahu, ibu dari seorang putri, Inaya, ini adalah seorang Muslim. Ia memutuskan untuk menganut Islam pada usia 20-an tahun.
Beda dengan pandangan Barat soal perlakuan Islam atas perempuan, ia justru tertarik mempelajari Islam karena alasan ini. Menurutnya, tak seperti pandangan banyak orang, Islam justru mendudukkan perempuan setara dengan laki-laki, dalam fungsi dan tugas masing-masing.
"Saya tahu, orang pasti akan terkejut mendengar kata "feminisme dan "Islam". Namun jangan salah, dalam Alquran, wanita mempunyai kedudukan setara laki-laki dan ketika agama ini dilahirkan, perempuan adalah warga kelas dua dalam masyarakat misoginis," ujarnya.
Menurutnya, banyak orang yang salah mendudukkan antara budaya dan agama. Di negara Islam, kebebasan wanita dikungkung mungkin benar, namun jangan salah juga, ketika saya tumbuh, saya juga merasa tertekan dalam kultur masyarakat Barat yang begini," ujarnya. "Tekanan" yang dimaksudkan, adalah tuntutan sosial agar wanita berlaku sama dengan pria, dengan minum minuman keras dan seks bebas. "Tak ada artinya semua itu bagi saya. Dalam Islam, ketika Anda mulai menjalin hubungan, maka artinya adalah sebuah komitmen yang intens," ujarnya.
Camilla besar dalam lingkungan kelas menengah Inggris. Ayahnya adalah direktur Southampton Institute of Education dan ibunya dosen ekonomi. Camilla mulai tertarik pada Islam sejak sekolah menengah.
Dahaganya akan pengetahuan keislaman agak terpuaskan ketelah ia masuk universitas, yang dilanjutkan dengan meraih gelar master untuk bidang studi Timur Tengah.
Pencerahan datang saat ia tinggal dan bekerja di Suriah. Ia makin tertarik pada Islam setelah membaca terjemah Alquran. "Saya tertarik untuk menjadi mualaf," ujarnya.
Keputusannya menganut Islam membuat teman-teman dan keluarganya heran. "Sulit bagi mereka untuk memahami seorang yang terpelajar, berasal dari kelas menengah, dan berkulit putih pula, memutuskan untuk menjadi Muslim," ujar Camilla.
Ia sempat mengenakan jilbab, namun kini dia tampil tanpa jilbab. Namun ia mengaku makin mantap dengan islam dan tak pernah melalaikan shalat.
Ia bersyukur menemukan Islam. Ia bercerita, makin kuat tekadnya memegang teguh agamanya saat menghadiri ulang tahun temannya di sebuah bar, saat itu ia tampil perjilbab.
"Saya berjalan, dengan jilbab dan pakaian rapat saya, melihat semua mata menatap saya dan beberapa yang mabuk mengucapkan kata-kata tak senonoh atau menari secara provokatif. Untuk pertama kalinya, saya menyaksikan masa lalu saya dengan sebelah mata dan saya tahu, saya tak akan pernah ingin kembali pada kehidupan semacam itu," ujarnya.
Ia menyatakan beruntung menemukan "rute penyelamatan diri"-nya, Islam. "Ini saya yang sesungguhnya: saya bahagia berdoa lima kali sehari, dan mengikuti pengajian di masjid. Saya tak lagi menjadi budak dari masyarakat yang rusak," ujarnya.
0 komentar:
Posting Komentar