Kamis, 28 Oktober 2010

Pesona Masjidil Haram dan Nabawi

Kamis, 28 Oktober 2010

h-113MADINAH–Islam mengenal tiga masjid suci, Masjidilharam di Mekah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjidil Aqsha di Palestina. Selama melaksanakan haji, umat Islam dapat mengunjungi dua masjid, yakni Masjidilharam di Mekah Al-Mukaramah dan Masjid Nabawi di Madinah Al-Munawarah. Apa kesamaan dan perbedaan beribadah di dua masjid ini?

Kesamaannya, kedua-duanya mempesona. Berpesona tak sekadar terlihat dari bangunannya yang kokoh, besar, dan kuat. Tapi dua masjid itu memancarkan sinar keagungan Allah SWT dan sinar Muhammad saw. Masjidilharam memancarkan keagungan Sang Khalik, sedangkan Masjid Nabawi menggambarkan kebesaran Muhammad.

Pesona Mekah yang paling utama, karena di tempat ini Allah memilih membangun Baitullah. Menurut Rasulullah, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar Al-Ghifari, masjid yang paling pertama dibangun di muka bumi ini adalah Masjidilharam. Setelah 40 tahun kemudian dibangunlah Masjidil Aqsha. Pembangunan Masjidil Aqsha yang dimaksudkan adalah pembangunan yang dilakukan oleh Yakub bin Ishak dan kemudian direnovasi oleh Nabi Sulaiman.

Menggambarkan pesona itu, Rasulullah saw., dalam hadis yang diriwayatkan Jabir r.a. bersabda, “Salat di masjidku ini (Masjid Nabawi) adalah 1.000 kali lebih utama daripada salat di masjid lainnya, kecuali Masjidilharam. Sebab, salat di Masjidilharam lebih utama 100.000 kali daripada salat di masjid lain. Sementara salat di Masjidil Aqsha lebih utama 500 kali daripada salat di masjid lain.”

Begitulah kebesaran Kota Mekah, sehingga Allah menjadikan tempat ini sebagai tanah haram atau tanah suci. Itulah sebabnya, di tempat ini tidak boleh terjadi pertumpahan darah. Setiap orang yang berdoa di tanah haram ini juga mustajabah (dikabulkan). Keagungan Kota Mekah terpancar dari keagungan Allah SWT. Dengan kekuasaan Allah, Sang Khalik berkehendak apa pun yang diinginkan-Nya. Pada kenyataannya, dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahimnya, Allah menghendaki agar manusia sejahtera dan bahagia, tidak hanya di dunia, tapi bahkan di akhirat.

Allah yang telah menciptakan alam semesta ini, Allah pula yang membuat aturan mainnya melalui hukum alam. Melalui Alquran, Allah mengabarkan kepada manusia bagaimana cara bersahabat dengan alam semesta ini. Manakala terjadi banyak bencana, manusia harus menyadari, hal itu karena manusia tidak mengikuti sistem alam yang menjadi ketentuan Allah.

Melalui ritus haji, Allah menguji siapa di antara umatnya yang beriman. Melalui rukun Islam kelima ini, Allah mengundang hamba-Nya untuk datang menghadap-Nya. Di tanah suci, manusia bisa berdialog dengan Penciptanya, mereka mengadukan nasibnya, meminta ampun atas dosa-dosanya. Kemudian, Allah menawarkan hamba-Nya untuk meminta apa pun yang diinginkannya.

Dengan berdoa, Allah akan mengabulkan semua permintaan hamba-Nya tersebut.
Meskipun berhaji dibandingkan dengan travelling ke luar negeri sama, tapi berhaji secara substantif mempunyai makna yang jauh berbeda. Berhaji adalah kepasrahan diri, datang menghadap Allah dengan apa adanya sebagai manusia. Berhaji justru kita diminta datang oleh Allah sebagai diri kita, manusia. Maka, memasuki Kota Mekah hanya mengenakan dua kain putih tanpa jahitan. Saat wukuf di Arafah pun, Allah pamer dan merasa bangga kepada para malaikat bahwa hamba-Nya datang dengan keadaan dekil.

Makanya, ketika seseorang datang ke menghadap Allah, dia merupakan perjalanan seorang hamba yang menghadap Penciptanya. Maka, mereka datang tanpa atribut apa pun, tanpa memperlihatkan pangkat dan derajat, kecuali kerendahan hatinya. Sedangkan travelling ke luar negeri pada umumnya berkaitan dengan derajat dan pangkat, serta kemewahan. Berhaji ke Mekah berarti kepasrahan manusia kepada Sang Khalik.

Keagungan Madinah
Berbeda dengan saat di Mekah, di Madinah suasana cukup berbeda. Madinah merupakan pancaran pembudayaan Islam yang akar-akarnya ada di Mekah. Di Madinahlah Rasulullah mengekspresikan substansi Islam dalam bentuk lahiriah. Sistem Islam ditata Rasulullah dalam kehidupan kemasyarakatan di Madinah.

Itulah sebabnya, datang ke Madinah nuansanya berbeda dari Mekah. Madinah sangat kental rasa kemanusiaannya. Kota nya bersih, masyarakatnya ramah, banyak kebun korma yang alami, terdapat oase, pola keluar masuk jemaah yang teratur antara yang datang dan pergi, dan sebagainya. Sedangkan Mekah terkesan lebih mengesankan keagungan Tuhan Yang Mutlak.

Maka ritus yang dilaksanakan di Madinah pun relatif lebih sedikit. Jemaah hanya melaksanakan salat arbain, yaitu salat berjamaah di Masjid Nabawi. Ritus ini sesungguhnya nyaris sama dengan ibadah harian. Sebab, setiap Muslim disarankan melaksanakan salat berjamaah di masjid, sebagaimana Rasulullah selalu melaksanakan salat fardhu di masjid. Selain melaksanakan salat fardhu, jemaah hanya berziarah ke makam Rasulullah, sahabat Abubakar dan Umar, serta sejumlah sahabat lain di makam Al-Baqi, serta sejumlah malam lain seperti di Gunung Uhud.

Sedangkan ritus yang dilaksanakan di Mekah dan sekitarnya berkaitan dengan kewajiban hamba kepada Penciptanya. Datang dengan berihram, kemudian melaksanakan tawaf, sai, dan wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifan dan Mina, dan terakhir melontar jumrah. mch/yto

http://www.jurnalhaji.com/2009/11/04/pesona-masjidil-haram-dan-nabawi/


Rabu, 27 Oktober 2010

Darul Arqam dan Masjid Sekitar Masjidil Haram

Rabu, 27 Oktober 2010

MAKKAH–Jumat lalu, saya memilih shalat Ashar di Masjid Kucing, sekitar 200 meter dari Bab Salam Masjidil Haram. Tentu tak ada pemandangan langsung ke Kabah. Jamaah penuh.

Tak jauh dari Masjid Kucing, juga ada sebuah masjid lagi. Sebelum Ashar, posisi kami berada di depan masjid nyang satu itu,juga sekitar 200 meter dari Pintu Marwah Masjidil Haram.

Saat kumandang Ashar, suara adzan dari masjid itu kurang enak di telinga, sehingga kami memilih berjalan ke Masjid Kucing. Saat shalat Jumat, kami shalat di Masjidil Haram. Jamaah penuh. Cukup susah kami mencari tempat di bagian depan yang bisa langsung melihat Kabah. Yang kosong tinggal di pelataran Kabah, tapi cuaca cukup panas, sehingga kami memilih naik ke lantai dua. Pun, penuh.

Di masa lalu, pelataran Kabah yang dipakai untuk tawaf tergolong sempit. Hanya 21 meter dari Kabah, karena di meter ke-21, sudah ada bangunan yang melindungi sumur Zamzam. Bertambahnya jamaah membuat bangunan berukuran 88,8 meter persegi itu dibongkar, sehingga pada 1381-1388 dilakukan perluasan tempat tawaf. Mimbar juga dipindahkan. Maqm Ibrahim direnovasi. Kerikil dihilangkan.

Abdullah ibn Zubair adalah orang pertama yang memberi ubin di tempat tawaf. Ubinnya bergaris tengah lima meter. Hingga 1375 Hijriyah, sumbangan marmer terus berdatangan, dengan bentuk oval saling berhadapan. Lantai tawaf itu dibuat dari marmer dingin, sehingga menahan panas matahari.

Untuk membuat dingin Masjidil Haram, disediakan sentral penyejuk udara. Udara disalurkan lewat terowongan yang menghubungkan sentral pendingin dengan satuan pendingin di tiang-tiang masjid.

Di mala lalu, saat tempat tawaf masih sempit dan jamaah masih sedikit, untuk shalat cukup dilakukan di belakang Maqm Ibrahim. Imam dan jamaah berada di situ. Bertambahnya jamaah, membuat shaf melingkari Kabah perlu dipikirkan. Maka, Gubernur Makkah Khalid bin Abdullah al-Qusary (wafat 120 Hijriyah) menata shaf melingkar itu. Dengan shaf melingkar itu, orang yang shalat tetap menghadap dan bisa melihat ke Kabah.

Maka, ketika kami shalat di Masjidil Haram, kami juga berupaya bisa shalat di posisi yang bisa melihat langsung Kabah. Jauh dari pelataran Kabah, kita sudah tak bisa melihat Kabah. Tiang-tiang Masjidil Haram berikut atap dan lainnya, telah menghalangi penglihatan langsung ke Kabah.

Di sekitar Masjidil Haram, dulu juga ada masjid yang dibangun oleh ibunda Khalifah Harun Al-Rasyid, al-Khuzairan. Masjid ini tepatnya berada di bekas lokasi rumah Nabi, pada 1957, masjid itu dibongkar, kemudian dibangun perpustakaan.

Khuzairan semula adalah budak Mahdi al-Abbasi. Ia juga membangun masjid sekitar 36 meter sebelah timur Safa. Masjid ini dibangun pada 787 Masehi, dibekas lokasi Darul Arqam, rumah Arqam ibn Abi al-Arqam. Rumah sahabat Nabi ini menjadi pusat syiar Islam di awal-awal kenabian Muhammad. Saat itu belum genap 40 orang yang memeluk Islam. Dari rumah ini, syiar dilakikan secara sembunyi-sembunyi. “Muslim yang bru masukIslam berkumpul dan melaksanakan shalat di dalamnya secara sembunyi-sembunyi pula,” tulis Dr Muhammad Ilyas Abdul Ghani, dalam buku Sejarah Mekah.

Syiar Islam baru dimulai terang-terangan, ketika Umar bin Khathab muncul sebagai orang ke-40 yang memeluk Islam. Pada 1955, Masjid Arqam dihancurkan demi perluasan Masjidil Haram,sehingga lokasi masjid ini sekarang menjai pelataran Masjidil Haram. Nama Arqam kemudian diabadikan sebagai nama pintu pertama di tempat sai, samping Safa. Namanya Pintu Darul Arqam.

Tak jauh dari Masjidil Haram pula, ada Masjid Jin. Masjid ini sekitar 1 km dari Masjidil Haram –sekitar 100 meter dari kompleks makam Mala, tempat Siti Khadidjah dikuburkan. Lokasi Masjid Jin ini dulunya merupakan lokasi yang dipakai Nabi menulis surat ke Ibn Masud. Saat itu, ada rombongan jin yang ingin membaiat Nabi. Rombongn jin ini sebelumnya telah bertemu Nabi di Nakhlah. Pada tahun ke-10 kenabiannya, Nabi pergi ke Thaif, kemudian ketika pulang dari Thaif bertemu rombongan jin itu di Nakhlah.

Penduduk yang tinggal atau bekerja di sekitar Masjidil Haram tak selalu shalat di Masjidil Haram. Di jam-jam shalat, mereka memilih ke masjid terdekat, seperti Masjid Kucing dan Masjid Jin, dan juga masjid lainnya yang berada di sekitar Masjidil Haram.

Lokasi Masjid Kucing ini dipercaya sebagai sebagai lokasi rumah Abu Hurairah, salah satu sahabat Nabi. Abu Hurairah berarti Bapak Kucing. Hanya jamaah dari Indonesia yang menyebut masjid itu sebagai Masjid Kucing. Di Makkah, masjid ini dikenal sebagai Masjid Rayah atau Masjid Abu Hurairah.

Kami berencana safari shalat di masjid-masjid bersejarah di sekitar Masjidil Haram. Jumat malam, kami mencoba menyambangi Masjid Jin, tapi tutup. Masjid-masjid di sekitar Masjidil Haram, hanya buka di waktu-waktu shalat. Kalau Masjidil Haram, buka 24 jam.

priyantono oemar

Jumat, 22 Oktober 2010

Lampu Koridor ISLAMIC

Jumat, 22 Oktober 2010




Islamic Center Jumat 22 Okt 2010 (1)


Jumatan di ISLAMIC


Sabtu, 02 Oktober 2010

Sinagog Kharab; Awal Tanda Kehancuran Masjid Al-Aqsa?

Sabtu, 02 Oktober 2010
Sejak awal tahun 2010, terasa sekali berbagai indikator yang muncul terkait rencana Yahudisasi Al-Quds. Lihatlah, intensitas aksi serangan Yahudi radikal ke Masjid Al-Aqsa yang berulangkali terjadi hingga tentara Israel berani melontarkan tembakan gas air mata dan peluru karet ke arah pintu ruang utama Masjid yang disebut Masjid Al-Qibali. Hingga persitiwa menghebohkan yang terjadi, peresmian Sinagog terbesar bernama Kharab.
Sebuah kajian dari Al-Quds International Institution menyebut Zionis memang ingin aksi lebih konkret di tahun 2010 ini. Terlebih dengan latar belakang pengalaman buruk yang dialami Zionis Israel paska kegagalan perang atas Lebanon, setelah keterpurukan luar biasa karena tak mampu mengalahkan Hamas di Gaza, juga kegagalan melakukan Yahudisasi atas Al-Quds sepanjang 43 tahun. Terjadi pula beberapa perubahan paradigma komunitas Yahudi, dari yang menganggap kesucian sejarah Yahudi ada di area Masjid Al-Aqsa dan menyebutnya sebagai lokasi sakral bagi Yahudi. Dan perubahan paradigma sebagian Yahudi yang menganggap Kuil III tak perlu dibangun di atas tanah Masjid Al-Aqsa.

Rangkaian peristiwa itu mendorong Zionis Israel berkeras untuk bisa mewujudkan target kejahatannya secara lebih terukur. Dan itulah yang dirasakan langsung oleh Al-Quds sejak awal tahun 2009, bersamaan dengan aksi gila militer Israel atas Gaza. Tahun 2009 menjadi tahun derita paling berat bagi umat Islam, Masjid Al-Aqsa dan Al-Quds, mengingat terlampau seringnya tentara Israel menyerang Masjid Al-Aqsa dan terlampau banyaknya penduduk Al-Quds yang diusir dan dikuasai Israel tanah serta rumah mereka.

Mengenal Bahaya Sinagog Kharab
Sinagog Kharab adalah bangunan sinagog terbesar milik Israel yang berjarak beberapa puluh meter saja dari Masjid Al-Aqsa. Kisah tentang sinagog ini sesungguhnya sudah bermula sejak tahun 2001. kala itu, Zionis Israel menetapkan pembangunannya dengan asumsi biaya tak kurang dari 12 juta dollar, yang sudah terkumpul dari subsidi Israel dan berbagai konglomerat Yahudi di seluruh dunia.

Pembangunannya sendiri baru dimulai di tahun 2006, usai digambarkan peta lokasi dan konstruksi bangunannya secara utuh berdasarkan peta sebuah sinagog yang hancur di tahun 1948. Israel, melalui keterangan resmi mereka, menjelaskan misi pengelolaan Sinagog Kharab melalui sebuah lembaga bernama “Dana Budaya Tembok Ratapan.”
Sinagog yang letaknya bersebelahan dengan Masjid Al-Umari, di atas tanah wakaf yang diberikan penduduk Palestina itu, memiliki tinggi bangunan 24 meter dan kubahnya memiliki 12 jendela. Dengan kubah warna putih, keberadaan sinagog sangat mencolok bila dilihat dari lokasi Masjid Al-Aqsa. Apalagi bila diketahui jaraknya memang dekat dengan tembok sisi barat Masjid Al-Aqsa, yang di sisinya adalah Masjid Al-Umari, sebuah masjid bersejarah milik umat Islam yang ditutup oleh Zionis Israel. Konstruksi bangunan kubah Sinagog yang besar dan berwarna putih juga menunjukkan untuk kian menyamarkan simbol Masjid Al-Aqsa dan Masjid Qubbatu Shakhrah (kubah emas) yang ada di Al-Quds.
Tiga bulan sebelum akhirnya diresmikan pada 16 Maret 2010, berbagai media massa Zionis Israel sudah gencar mengangkat informasi peresmian Sinagog Kharab ini. Media-media massa Israel telah menyebutkan bahwa proyek pembangunan Sinagog Kharab itu akan rampung di pertengahan bulan Maret 2010. Dan, sesuai banyak artikel yang dimuat di harian Haaretz berbahasa Ibrani, peresmian Sinagog Kharab adalah langkah fenomenal Yahudi sebagai tanda mereka berhasil mengukuhkan Al-Quds sebagai ibukota Israel, keberhasilan penting Yahudisasi Al-Quds, dan sinagog itu akan menjadi simbol penting bagi ritual Yahudi di Al-Quds. Seiring dengan informasi peresmian Sinagog Kharab, atau sejak awal tahun 2010, beragam kelompok ortodoks Yahudi pun melakukan sejumlah aksi “pemanasan” dengan beberapa kali menggelar ritual di halaman masjid, meski harus berhadapan dengan pemuda Palestina yang mencoba menghalangi mereka. Tapi aksi-aksi itu bisa dikatakan berhasil karena didukung oleh aparat polisi dan tentara Israel. bersambung ke Sinagog Kharab; Awal Tanda Kehancuran Masjid Al-Aqsa? (2) 

[Sumber: Majalah Tarbawi edisi 225]